Sebagai seorang wanita, sering saya bertanya-tanya kepada para praktisi pajak dan bahkan petugas pajak sendiri, kenapa wanita harus diperlakukan secara tidak adil di dalam pajak.
Banyak Wanita di Indonesia bekerja sepanjang hidupnya dan taat membayar pajak tanpa pernah mempertanyakan apapun mengenai pajak yang mereka bayarkan.
Memang benar pajak adalah kewajiban dan sebagai warga negara yang baik kita wajib membayar pajak. “Berikan kepada Pemerintah apa yang menjadi haknya;” setidaknya itu yang diajarkan melalui kitab suci agama yg saya yakini.
Namun apakah tidak ada yang menyadari bahwa selama ini wanita tidak diperlakukan secara adil di dalam UU Pajak Penghasilan yg dibuat tahun 1983 (hampir 35 tahun yg lalu).
Secara singkat, dalam UU no. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan disebutkan bahwa:
- Pajak penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
- Yang menjadi Subjek Pajak adalah orang pribadi; warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak; badan; dan bentuk usaha tetap.
- Subjek Pajak dibedakan menjadi subjek pajak luar negeri dan subjek pajak dalam negeri berdasarkan lama waktu tinggal di Indonesia (183 days rule).
- Subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi, ….
- Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi, ….
- Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap penambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.
Sampai disana semuanya jelas dan objektif, subjek pajak adalah orang pribadi dan objek pajaknya adalah penghasilan yg dihasilkan orang pribadi tersebut. Very simple, apapun gender Anda asalkan orang (pribadi)/individual, punya penghasilan, maka Anda akan dipajaki berdasarkan penghasilan tersebut.
Namun tiba2 ada satu pasal yang rada unik, mungkin dari jaman dimana wanita dianggap lebih rendah dari pria atau tidak tau apa2 mengenai pajak (kalo menurut saya loh yah), sehingga secara spesifik mengenai wanita dibuatkan aturan khusus di Pasal 8 dan keberadaan wanita itu sendiri sebagai seorang pribadi/individu seakan dihilangkan di mata UU Pajak Penghasilan tahun 1983 ini.
Di Pasal 8 tersebut, tidak secara langsung dalam ayatnya, namun dituliskan di dalam Penjelasan Pasal 8 bahwa Sistem pengenaan pajak undang-undang ini menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis (why?), artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga (another why?).
I can understand kalo di tahun 1983 dimana jaman masih pake kertas akan sangat merepotkan mengurus jutaan paperwork, makanya suami dan istri udahlah dijadikan satu NPWP aja. Tapi hey…. dengan melakukan penggabungan penghasilan, Anda akan membayar lebih banyak pajak loh (tidak dipromosikan oleh kantor pajak tentunya). Yang ditonjolkan adalah kemudahan bagi istri krn tidak harus lapor pajak jadi tidak harus berurusan sama orang kantor pajak dan biar ga rugi katanya; suami udah bayar pajak, masa istri juga harus bayar pajak lagi. Oh well at least that’s what my mom think.
Di jaman NOW, I think something has to change for the better.
Banyak konsultan pajak dan petugas pajak sendiri hanya refer ke Penjelasan Pasal 8 ketika saya tanyakan mengenai pasal 8 kenapa penghasilan 2 orang pribadi yg punya penghasilan masing2 harus digabungkan, tidak lapor sendiri2 aja kan lebih objektif in terms of Pajak dari Penghasilan.
Bahkan kenapa wanita yang sudah punya NPWP sendiri dan mengkehendaki pelaporan pajak terpisahpun masih harus digabungkan penghasilan netonya dengan suaminya baru dipajaki dengan tarif Pasal 17 yang pelapisannya diperuntukkan hanya untuk 1 orang pribadi. Ini kan tidak adil (menurut saya).
Kenapa tidak adil? Mungkin banyak wanita jaman saya maupun jaman sebelum saya tidak tau dimana letak ketidakadilannya.
Ketidak adilannya ada di dalam pengelompokkan wanita atas dasar pernikahan dan sumber penghasilannya di Pasal 8 tersebut, juga penggunaan tarif Pasal 17 yg diperuntukkan untuk 1 orang pribadi dipakai untuk menghitung penghasilan 2 orang atau bahkan lebih jika penghasilan anak ikut digabungkan.
Di pasal 8, Wanita sebelum menikah masih dianggap sebagai Orang Pribadi sesuai pengertian Subjek Pajak dan darimanapun sumber penghasilannya tidak masalah, status anda sebagai wajib pajak sama dengan pria, perlakuannya pun sama di mata hukum pajak penghasilan.
Namun begitu wanita itu menikah atau memiliki sumber penghasilan tertentu maka mulailah pengertian Subjek Pajak itu dirancukan. Meskipun Anda (WANITA) adalah orang(pribadi)/individual yang sama, perlakuan perpajakan yang diterima akan berbeda berdasarkan status pernikahan dan sumber penghasilannya. Kelompoknya :
- Wanita menikah income 1 pemberi kerja (net income tidak digabung ke suami)
- Wanita menikah income dari lebih dari 1 pemberi kerja atau melakukan usaha/ikut usaha suami/ ikut usaha keluarga( net income digabung ke suami)
- Wanita menikah hidup berpisah (net income tidak digabung ke suami)
- Wanita menikah memiliki NPWP sendiri atau pisah harta atau mengkehendaki menjalankan hak dan kewajiban pajak sendiri ( tetep aja net income digabung ke suami, ga ngerti apa memilih untuk sendiri atau untuk pisah itu artinya ga mau ada penggabungan ckckck….)
Kenapa cuma wanita yah yg dikelompokkan begini sedangkan prianya tidak hehehe… Apakah perbedaan perlakuan terhadap wanita seperti ini adil? Menurut saya sebagai wanita ini sangat tidak adil sih dan sangat merugikan buat para suami dan istri yang berpenghasilan; dan bahkan kalo boleh jujur menurut saya peraturan pasal 8 ini hanya menambah kerjaan orang kantor pajak sendiri.
Dengan melakukan penggabungan penghasilan kan sebenarnya setiap individu yg kena pasal penggabungan atas dasar satuan ekonomis ini dirugikan secara material loh karena entah sadar atau tidak sadar, hak mereka akan lapisan pajak penghasilan untuk individu sesuai Pasal 17 (tarif pajak bertingkat yg mulai dari 5%, 15%, 25%, 30%) itu dikurangi.
Banyak konsultan pajak dan orang kantor pajak yg saya tanya akan memberikan komentar bahwa net income dipisah atau digabung kan sebenernya sama aja. Masing2 kan tetep dapet PTKPnya. Itu bener kalo yg digabung istri yg bekerja, kalo anak yg bekerja dan penghasilannya digabungkan apakah dapet PTKP yg sama besarnya dibanding kalau dia melapor penghasilannya sebagai seorang individu/orang pribadi?
Kalaupun PTKP memang dapet tapi hak Subjek Pajak Orang Pribadi terhadap Lapisan Penghasilan Kena Pajak untuk orang pribadi yg tertulis di Pasal 17 itu kan jadi berkurang/mungkin hilang sama sekali lapisannya dan hanya punya satu lapis rate yaitu 30% kalau penghasilan pasangannya diatas 500juta.
Stevi ini ngoceh aja ngga ngasih solusi. To cut story short, kalo pendapat saya pribadi, akan lebih baik apabila Pasal 8 itu dihapuskan dan mulai dilakukan penyetaraan untuk wanita dan anak2 di mata hukum pajak penghasilan. Kalo buat orang kantor pajak mungkin lebih cocok disebut penyederhanaan (simplification).
Setiap orang pribadi (dewasa maupun anak2) yang memiliki penghasilan, wajib memiliki NPWP, dan melaporkan penghasilannya masing2 (kalo anaknya kekecilan yah orang tuanya yg bantu isiin dan laporin ke kantor pajak), tapi ga pake penggabungan. Saya rasa itu lebih adil.
Jadi masing-masing Wajib Pajak (Subjek Pajak Orang Pribadi) bisa mendapatkan PTKP sesuai haknya sebagai individu dan juga mendapatkan keadilan dalam hal lapisan tarif perpajakannya sesuai tarif Pasal 17.
Atau kalau males ngubah UU setidaknya ditambahkan lah satu pasal biar adil : setiap penambahan individu yang penghasilan netonya digabungkan maka lapisan tarif pajak individunya juga mengikuti. Ngerti ngga? Ngga yah. Maksudnya gini.
Sekarang kan kalo A married sama B maka hitung pajaknya (net income A + net income B) * Tarif pasal 17.
Nah lapisan tarif pasal 17 ini yang saya harap bisa dibuat fleksibel. Lapisan tarif ini kan dibuat untuk Orang Pribadi (pengertian saya sih 1 orang yah). Jadi kalo namanya penggabungan yah mustinya lapisan kena pajaknya juga digabungkan, jadi misal net income A digabung dengan net income B, maka :
-yg kena pajak 5% kalo tadinya untuk Orang Pribadi dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) 0 sampai 50 juta, karena penghasilan neto 2 orang yang digabung, maka yg dipajaki 5% itu untuk PKP dari 0 sampai 100 juta pajaknya 5%.
-yg kena pajak 15% kalo tadinya hanya untuk PKP >50jt-250juta maka sekarang karena net PKPnya 2 orang digabung jadi lapisannya mulai dari >100jt-500jt juta pajaknya 15%
-yg kena pajak 25% kalo tadinya hanya untuk PKP >250jt-500juta maka karena net PKP A dan net PKP B digabung maka yg dikenai pajak 25% itu kalo untuk penghasilan >500jt-1Milyar
-yg kena pajak 30% kalo tadinya hanya untuk Orang Pribadi dengan PKP >500juta, karena net PKPnya digabung, maka baru kena pajak 30% kalo net PKP diatas 1Milyar kalo 2 pribadi yg digabung; atau 1.5Milyar kalo 3 pribadi yg digabung yah pembaca juga ngerti lah yah kira2 maksud saya apa (Semoga…) Kalo ngga ngerti ya udah gpp makasih aja udah baca panjang2.
Semoga aja di jamannya bu Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, peraturan Pasal 8 ini bisa dihapuskan atau ditambahkan 1 ayat di pasal 17nya untuk penambahan lapisannya kalau dilakukan penggabungan penghasilan hehehehe ngarep.com
Let me know if this make sense to you, especially to all the husband and wife who have to pay more tax because of this rule.
Steviani
You must be logged in to post a comment.